ASPEK MULTIKULTURAL DALAM CERITA TRADISIONAL
Indonesia diakui sebagai negara kepulauan berupa gugusan terpanjang dan terbesar di dunia, yang diisi oleh beragam suku bangsa dan golongan. Setiap suku, golongan dan agama memiliki ciri kebudayaan yang khas, baik bahasa, perilaku sehari-hari, juga upacara keagamaan. Kini hubungan lintas kelompok masih terjalin baik, namun menyimpan potensi konflik yang diakibatkan banyak hal, termasuk terkait agama, politik, dan ekonomi.
Keragaman Indonesia sudah ditegaskan saat proklamasi Indonesia pada 17 Agustus 1945, penyusunan UUD 1945 dan Pancasila sebagai dasar Negara. Apa yang dibangun pendiri bangsa sering mendapatkan ancaman. Asas bhineka tunggal eka yang menjadi energi dahsyat ketika merebut kemerdekaan, berubah jadi sumber konflik. Potensi konflik masih terasa bila diamati adanya desiminasi wacana berbagai kelompok lewat perda bernuansa keagamaan, produk perundang-undangan, perkembangan pemikiran yang ditunggangi kepentingan antek asing, dan sebagainya.
Kita pernah merasakan ketegangan saat konflik meletus di Poso antara Kristen-Muslim 1998-2001, Ambon antara Kristen-Muslim 1999-2002, kerusuhan anti Madura 1999-2001 setelah kerusuhan anti Madura 1997, Maluku Utara antara Kristen dan Muslim 1999-2001, di Kalimantan Tengah antara Dayak-Madura pada tahun 2001 (Van Klinken, 2003). Fakta ini belum termasuk konflik dan kerusuhan di Aceh, Nusa Tenggara Barat, Papua, Jawa Timur, dan daerah lain yang berlatarbelakang beragam kepentingan.
Konflik menjadi duri dalam daging bagi perjalanan bangsa Indonesia. Permusuhan terhadap anggota kelompok tertentu merupakan fenomena luas di seluruh dunia. Perilaku agresif macam-macam bentuknya, mulai penghinaan secara verbal sampai kekerasan serius. Tindak kekerasan rasial dan etnis bertanggungjawab atas besarnya proporsi tindak kejahatan yang dimotivasi oleh bias terhadap anggota kelompok sosial tertentu (hate crimes). Meminjam ungkapan Brown (2005), sikap dan perilaku antarkelompok cenderung merefleksikan kepentingan kelompok. Ketika kepentingan tidak kompatibel atau saat satu kelompok memperoleh sesuatu dengan mengorbankan kelompok lain, respons psikologis-sosialnya cenderung negatif. Yakni munculnya prasangka, penilaian berbias, dan perilaku bermusuhan.
Kondisi semacam ini memberi tantangan bagi kita bagaimana multikulturalisme harus didorong dan dikembangkan. Jelaslah, tugas mulia menanamkan kesadaran multikulturalisme bagi warga negara berada di pundak pendidikan nasional. Pendidikan diharapkan menjadi jalan menciptakan masyarakat cerdas yang memahami pergulatan hidup di tengah masyarakat multikultural.
Selain mencoba beberapa kemungkinan, ada alternatif untuk mendorong upaya menanamkan kesadaran multikulturalisme di kalangan masyarakat. Ini juga sangat mungkin dilakukan pada anak usia dini, yakni belajar multikultural dari cerita tradisional. Cerita tradisional merupakan khazanah lokal yang diwariskan nenek moyang. Sebagai produk kebudayaan, cerita tradisional merupakan potret sekaligus suara hati, lidah rakyat di masa lalu. Karena cerita tradisional berbeda dengan fiksi modern yang umumnya lahir dari ”imajinasi”. Cerita tradisional lahir dan tumbuh berkembang dari intensitas pergulatan kebudayaan masyarakat masa lampau tentang perkembangan sosial-budaya, politik, juga persoalan lain. Kata lain, cerita tradisional mungkin semacam ”gossip subversif” dari rakyat terhadap negara.
Misalnya, kita dapat belajar soal kesetaraan gender dari cerita Roro Jonggrang. Nafas feminisme dapat diungkap melalui siasat Roro Jonggrang saat ”menaklukkan” Bandung Bondowoso. Jonggrang ibarat potret perempuan ”kalah”, setelah bapaknya ditaklukkan Bondowoso. Tetapi, ia sekaligus sosok ”perkasa” yang tak mudah menyerah, panjang akal, dan tak putus melahirkan siasat. Konteks ini, yang terjadi bukan lelaki melawan perempuan atau sebaliknya, tetapi bagaimana semangat feminisme muncul dari simbol Jonggrang yang menolak cengkraman patriarkhal pada sosok Bondowoso. Jonggrang melakukan siasat ”pemberontakan yang lembut”. Ia melawan kekerasan tidak dengan melakukan kekerasan pula.
Contoh lain dapat ditemukan pada cerita tradisional tentang pentingnya menghargai kaum difabel, seperti pada cerita ”Kiwil Iwil-iwil”. Tokoh anak bernama ”Kepel” dalam cerita tersebut merupakan contoh difabel yang terpinggirkan di tengah kehidupan masyarakat, tidak dihargai, bahkan dicibir peran sosial-politiknya. Jangankan diberi hak bersuara saat mengambil keputusan penting, sekadar berpartisipasi menyelesaikan masalah bersama saja tidak dilibatkan. Tetapi, justeru ia menyimpan potensi besar untuk mengatasi masalah masyarakat.
Nilai yang penting untuk membangun semangat hidup bersama juga dapat ditemukan dalam cerita tradisional. Misal, pentingnya membangun kebersamaan dalam tradisi perdagangan. Dari cerita tradisional tentang ”Sumur Berkah Nogotirto” dapat ditemukan bagaimana pedagang Yogyakarta masa lampau membangun kebersamaan. Sumur Nogotirto tidak sekadar tempat meminum seteguk air, atau memandikan binatang yang dijadikan kendaraan. Sumur Nogotirto sekaligus ruang publik yang memungkinkan tegursapa, berbagi informasi, pengalaman, juga menyelesaikan persoalan sekitar kehidupan dagang.
Ajakan tidak serakah dapat ditemukan pada cerita ”Tegal Gendu”. Semangat tidak serakah ini penting untuk mewujudkan kehidupan sosial-politik dan sosial-ekonomi yang berkeadilan sosial. Perilaku serakah dewasa ini menimbulkan kerusakan parah di negeri ini, baik fisik maupun nonfisik. Faktanya dapat ditemukan pada kerusakan hutan, rusaknya tata kota, kehidupan politik yang carut-marut, korupsi, kolusi, sogok, dan sebagainya.
Contoh sikap siap kalah siap menang dapat ditemukan pada peristiwa pertarungan dua orang sakti di daerah Parangtritis. Diceritakan, ada tokoh bernama Sela Pawening. Ia hidup menyatu bersama masyarakat, dan membina mental mereka. Sela Pawening menuai simpati masyarakat luas. Selain pekerja keras, ia gemar membantu orang susah. Sebagai mantan bangsawan, Sela Pawening dianggap beda dengan banyak bangsawan dan mantan bangsawan. Ia pun ditahbiskan sebagai Begawan. Panggilannya Begawan Sela Pawening.
Rupanya, raihan Begawan Sela Pawening menarik rasa heran seseorang yang disebut sebagai Syekh Maulana Maghribi. Ia ingin menjajaki kemampuan Begawan Pawening, dan mengajaknya berlomba. Mulai lomba kanuragan hingga memancing. Ternyata keduanya sama-sama kuat. Maka keduanya sedia saling berbagi ruang pengabdian. Sekarang ini, tempat berdirinya padepokan Begawan Sela Pawening lebih dikenal dengan Seloning, dan padepokan Syekh Magribi yang di atas bukit disebut dengan Gunung Syekh Maulana Magribi.
Ada lagi sebuah cerita yang menarik, yakni tentang Raden Jaka Bandem. Ini terkait dengan ajarannya yang dapat dijadikan nilai dasar dari kehidupan masyarakat multikultural. Konon, ia bersabda, menjadi manusia baik jauh lebih penting daripada menjadi manusia hebat, kebal senjata tajam, bisa menghilang, paling pintar, paling menang, dan sebagainya. Pada sebuah perjumpaan malam di hadapan anggotanya, ia menegaskan, “Sebab semua ada batasnya! Sayang tidak banyak orang menyadari. Perbuatan baik dapat mengajak orang sadar tentang batas kemampuan dan kekuatan, juga kekuasaan. Karena perbuatan baik oleh siapapun dapat mendekatkan kepada Sang Maha Pencipta. Dengan begitu ia sadar, bahwa ia hanya manusia, makhluk ciptaan yang serba terbatas.”
Demikian perjumpaan kita disiang hari ini, semoga dengan adanya artikel Contoh esai singkat tentang budaya Terbaru dan Gratis Lengkap diatas dapat bermanfaat. Terima kasih atas kunjungannya...:D
Tidak ada komentar:
Posting Komentar